Amsterdam telah lama tidak masuk dalam daftar European Grand Tour.
Akan tetapi, pada awal abad 21 kota Amsterdam melihat posisinya yang
telah turun pada berbagai peringkat teratas tujuan wisata internasional,
kota teratas tujuan konvensi, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan
meningkatnya kompetisi dari tujuan lain di Eropa, terutama kota-kota di
Spanyol dan Eropa Timur. Untuk
mempertahankan posisinya sebagai tempat teratas tujuan pariwisata dan
bisnis, kerjasama swasta-publik dibentuk untuk mengubah citra Amsterdam
dengan program kampanye marketing kota yang baru. Pada bulan September
2004, lahirlah nama I amsterdam. I amsterdam adalah slogan dan brand all in one, baik untuk masyarakat dan kota Amsterdam itu sendiri.
Kita semua telah akrab dengan brand komersial, akan tetapi apakah arti brand untuk kota? Menurut Konsultan Brand Saffron, pencipta barometer Saffron European City Brand Barometer, “brand” untuk tempat adalah “persepsi rata-rata atau umum dan asosiasi orang dengan tempat tersebut”. Hal ini, tentu saja persepsi subjektif berdasarkan selera pribadi dan pengalaman, namun secara umum terdapat kesadaran budaya tertentu terhadap gagasan kota yang dibentuk oleh media dan marketing.
Itu semua adalah harapan Amsterdam Partners, kerjasama publik-swasta yang dibentuk untuk mengembangkan dan memasarkan ibukota Belanda untuk memperluas dan sedikit mengubah cultural “awareness” dengan berfokus pada apa yang mereka identifikasi sebagai nilai inti dari kota: kreativitas (creativiteit), inovasi (innovatie) dan semangat perdagangan (handelsgeest). Ketiga nilai yang telah didefinisikan ditentukan setelah profil kota terbentuk berdasarkan 16 aspek yang berbeda dari Amsterdam, direpresentasikan dalam diagram berikut, yang menjelaskan persepsi tentang kota (dalam warna merah) dan pergeseran persepsi yang diharapkan dengan kampanye marketing yang baru (dalam warna hitam).
Untuk itu, mereka menginginkan konsep branding yang beragam yang akan menarik tidak hanya wisatawan, tetapi untuk mereka yang tinggal di daerah sekitar Amsterdam, serta untuk bisnis. Slogan kota sebelumnya seperti “Amsterdam Has It” atau “Capital of Sport” dan “Small City, Big Business” masih dianggap terlalu bias atau terlalu terfokus pada satu aspek dari kota sehingga dapat merugikan orang lain. “I amsterdam”, bagaimanpun dapat dikenali secara langsung seperti logo kota “I love NY”, yang telah menarik beberapa inspirasi. Kota Amsterdam mengundang anda untuk menjadi bagian darinya “I amsterdam and you can be too”.
Identitas baru ini dilengkapi dengan semua ekstensi dan aksesoris dari setiap kampanye marketing kontemporer: sebuah situs yang mudah diakses, akun twitter, halaman Facebook, dan bahkan sebuah aplikasi. Dan kemudian terdapat huruf merah dan putih setinggi dua meter yang menggambarkan slogan/brand. Sebagai hasil dari popularitas, brand I amsterdam terus menyebar di seluruh web blog, majalah, situs foto, dan pencarian gambar Google.
Apakah I amsterdam berhasil? Angka pariwisata telah naik, bisnis semakin membaik dan sekali lagi Amsterdam telah mengkokohkan posisinya di lima kota tujuan teratas Eropa berdasarkan kekuatan brand dan aset budaya. Dalam delapan tahun, I amsterdam tidak hanya menjadi bagian dari indentitas budaya, namun telah menjadi sebuah landmark. Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Apakah keberhasilan city branding Amsterdam dapat diikuti kota di Indonesia?
Kita semua telah akrab dengan brand komersial, akan tetapi apakah arti brand untuk kota? Menurut Konsultan Brand Saffron, pencipta barometer Saffron European City Brand Barometer, “brand” untuk tempat adalah “persepsi rata-rata atau umum dan asosiasi orang dengan tempat tersebut”. Hal ini, tentu saja persepsi subjektif berdasarkan selera pribadi dan pengalaman, namun secara umum terdapat kesadaran budaya tertentu terhadap gagasan kota yang dibentuk oleh media dan marketing.
Itu semua adalah harapan Amsterdam Partners, kerjasama publik-swasta yang dibentuk untuk mengembangkan dan memasarkan ibukota Belanda untuk memperluas dan sedikit mengubah cultural “awareness” dengan berfokus pada apa yang mereka identifikasi sebagai nilai inti dari kota: kreativitas (creativiteit), inovasi (innovatie) dan semangat perdagangan (handelsgeest). Ketiga nilai yang telah didefinisikan ditentukan setelah profil kota terbentuk berdasarkan 16 aspek yang berbeda dari Amsterdam, direpresentasikan dalam diagram berikut, yang menjelaskan persepsi tentang kota (dalam warna merah) dan pergeseran persepsi yang diharapkan dengan kampanye marketing yang baru (dalam warna hitam).
Untuk itu, mereka menginginkan konsep branding yang beragam yang akan menarik tidak hanya wisatawan, tetapi untuk mereka yang tinggal di daerah sekitar Amsterdam, serta untuk bisnis. Slogan kota sebelumnya seperti “Amsterdam Has It” atau “Capital of Sport” dan “Small City, Big Business” masih dianggap terlalu bias atau terlalu terfokus pada satu aspek dari kota sehingga dapat merugikan orang lain. “I amsterdam”, bagaimanpun dapat dikenali secara langsung seperti logo kota “I love NY”, yang telah menarik beberapa inspirasi. Kota Amsterdam mengundang anda untuk menjadi bagian darinya “I amsterdam and you can be too”.
Identitas baru ini dilengkapi dengan semua ekstensi dan aksesoris dari setiap kampanye marketing kontemporer: sebuah situs yang mudah diakses, akun twitter, halaman Facebook, dan bahkan sebuah aplikasi. Dan kemudian terdapat huruf merah dan putih setinggi dua meter yang menggambarkan slogan/brand. Sebagai hasil dari popularitas, brand I amsterdam terus menyebar di seluruh web blog, majalah, situs foto, dan pencarian gambar Google.
Apakah I amsterdam berhasil? Angka pariwisata telah naik, bisnis semakin membaik dan sekali lagi Amsterdam telah mengkokohkan posisinya di lima kota tujuan teratas Eropa berdasarkan kekuatan brand dan aset budaya. Dalam delapan tahun, I amsterdam tidak hanya menjadi bagian dari indentitas budaya, namun telah menjadi sebuah landmark. Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Apakah keberhasilan city branding Amsterdam dapat diikuti kota di Indonesia?
Post a Comment